Para pembaca tentu paham bahwa pada lelang proyek pemerintah, umumnya diberikan BQ kosong yang berisi item pekerjaan dan volume pekerjaan (tanpa harga). Jujur saja bahwa dipastikan 100% BQ kosong tersebut beda dengan yang dibuat oleh kontraktor, kecuali kontraktor kelas bawah yang tidak memiliki SDM untuk menghitung ulang volume gambar. Dampaknya adalah selalu ada temuan auditor di seluruh proyek di Indonesia yang berbunyi “temuan mark-up volume pekerjaan.”
Pasti ada temuan! begitulah kesimpulannya. Tidak perlu repot-repot, cek saja 10 item pekerjaan, minimal akan ditemukan 1-2 item yang berkategori mark-up volume pekerjaan pada kontrak lump sum proyek pemerintah. Mengapa demikian? ini dikarenakan empat hal utama, yaitu:
- Hampir semua pihak penyelenggara lelang berprinsip harus memberikan BQ kosong (tanpa harga) dimana kontraktor diminta mengisi harga. Ini adalah wujud ketidak-pahaman akan esensi kontrak lump sum. Jadi maunya kontrak lump sum, tapi prosesnya kontrak unit price.
- Kontraktor tidak diperbolehkan untuk mengoreksi item dan volume pekerjaan. Ini dianggap sepele oleh panitia lelang, tapi nyatanya adalah sulit untuk menjadikan BQ penawaran jika ada perbedaan perhitungan volume BQ.
- Kita belum memiliki standart perhitungan volume pekerjaan. Sehingga justifikasi perhitungan volume yang benar tidak pernah ada alias volume yang benar adalah tergantung kekuatan posisi pihak yang membuat perhitungan volume.
- Pemahaman sebagian auditor yang juga melihat kontrak lump sum sebagai kontrak unit price. Kelebihan volume BQ kontrak lump sum terhadap volume terlaksana dianggap sebagai mark-up volume dengan alasan merugikan keuangan negara terutama dilihat dari kaca mata akuntansi.
Sebelum dijelaskan lebih detil, artikel ini akan mengajak kita untuk melihat proses dapur kontraktor dalam membuat BQ penawaran saat lelang ketika terjadi perbedaan perhitungan volume. Perhitungan BQ penawaran dalam kondisi normal telah disampaikan pada artikel sebelumnya (Cara Membuat RAB Kontrak Lump Sum).
A. Perhitungan Normal
Berikut ini disampaikan perhitungan normal atas suatu gambar berikut segala kondisinya dalam rangka perhitungan kontrak lump sum. Perhitungan ini telah disampaikan secara detil pada posting sebelumnya.
Perhitungan yang dibuat di atas adalah dengan asumsi bahwa item pekerjaan dan volumenya dibuat oleh kontraktor atau volume dari panitia lelang tidak berbeda signifikan dengan yang dibuat oleh kontraktor. Perlu dicatat bahwa variabel faktor mark-up sangat tergantung dengan situasi dan kondisi yang ada.
B. Perhitungan Tidak Normal
Pada kenyataannya, hampir semua proyek pemerintah mensyaratkan kontraktor untuk hanya mengisi harga satuan pada BQ kosong yang telah disediakan. Hal ini membuat perhitungan menjadi tidak normal.
Menyikapi hal ini, pertama-tama kontraktor akan melakukan perhitungan normal seperti pada tabel pada bagian atas tanpa melihat BQ kosong dari panitia lelang. Setelah itu dilakukan identifikasi terhadap perbedaan item dan volume pekerjaan seperti yang tampak pada tabel di bawah ini:
Jika awalnya kontraktor menghitung terdapat item pekerjaan A-H (8 item pekerjaan) dengan volume seperti tertera di tabel, lalu teridentifikasi beberapa perbedaan (sebagai contoh) yaitu:
- Pekerjaan A : Versi kontraktor volume 100 m3 dan versi panitia lelang 80 m3.
- Pekerjaan B : Versi kontraktor volume 150 m3 dan versi panitia lelang 195 m3.
- Pekerjaan C : Versi kontraktor volume 200 m3 dan versi panitia lelang tidak ada.
- Pekerjaan I : Versi kontraktor tidak ada dan versi panitia lelang 85 m.
Akibatnya, kontraktor mencari ide untuk menyelesaikan perbedaan ini karena biasanya kontraktor tidak boleh merubah BQ kosong dari panitia. Pilihan kontraktor hanya pada harga satuan dengan catatan tidak mempengaruhi harga total penawaran. Sehingga mau tidak mau, harga satuan terpaksa dimodifikasi menjadi TIDAK NORMAL.
Pada tabel paling kanan, terlihat harga satuan dengan mark-up normal yang sesuai perhitungan adalah 1,2309 yang dilakukan merata pada seluruh item pekerjaan. Hasilnya ternyata terdapat selisih total penawaran target dan hasil perhitungan. Pada item pekerjaan I tidak dimasukkan harga satuan karena pekerjaan tersebut tidak ada dan kontraktor tidak memiliki dasar real cost-nya. Sehingga dalam BQ penawaran akan dikosongkan.
Akibatnya terjadi perbedaan antara target harga penawaran dan hasil perhitungan. Hal ini secara otomatis memunculkan faktor mark-up tambahan yang dalam perhitungan adalah sebesar 1,070. Setelah itu dilakukan lagi distribusi mark-up tambahan pada harga satuan. Hasilnya tampak seperti tabel di bawah ini:
Pada tabel di atas terlihat bahwa akibat dari kondisi tidak normal, membuat faktor mark-up juga tidak normal yang dalam hal ini menjadi naik dari 1,2309 menjadi 1,317. BQ di atas dianggap sudah final karena total hasil perhitungan sudah sama dengan target total penawaran pada kondisi normal.
C. Permasalahan yang Timbul
Setidaknya ada tiga masalah yang akan muncul yaitu proses progress pekerjaan, proses VO, dan temuan auditor seperti yang disebutkan di atas. Berikut penjelasannya:
1. Masalah Proses Progress Pekerjaan
Penulis fokus pada proses progress pekerjaan pada item pekerjaan C dan pekerjaan I. Pada item pekerjaan C dimana secara aktual pekerjaan tersebut ada, namun dalam BQ tidak ada. Sehingga jelas tidak bisa diprogress. Dampak yang mungkin muncul adalah pekerjaan ini dikerjakan belakangan oleh kontraktor karena dianggap merugikan cash flow.
Lalu untuk pekerjaan I bisa lebih parah. Dimana karena secara aktual tidak ada, maka hingga selesai proyek tidak akan diprogresskan. Jika ada kontraktor yang berani mengisi harga ada item pekerjaan ini, maka kemungkinan besar akan menjadi dispute berkepanjangan bahkan setelah proyek selesai dimana kontraktor minta untuk diprogresskan namun tidak diprogresskan karena secara aktual pekerjaan tersebut tidak ada.
2. Masalah Proses VO
Pada item pekerjaan yang volume pekerjaan tidak berbeda signifikan, tentu tidak menjadi masalah. Tapi jika berbeda signifikan, akan terjadi setidaknya 3 variasi masalah. Pada seluruh item pekerjaan kecuali item pekerjaan C dan I, adanya pekerjaan tambah akan sangat menguntungkan kontraktor. Sebaliknya jika ada pekerjaan kurang akan sangat merugikan. Hal ini karena faktor mark-up total lebih besar dari faktor mark-up target.
Lalu pada item pekerjaan C dan I, adanya pekerjaan tambah kurang maka kontraktor harus membuat analisa harga satuan terlebih dahulu dan dilakukan analisa atau benchmarking serta proses negosiasi.
Masalah yang sering muncul adalah pada perhitungan volume. Penulis tidak tahu kenapa banyak konsultan Pengawas atau MK menghitung dengan cara menghitung keseluruhan volume lalu dikurangi dengan volume BQ. Ini jelas menyalahi prinsip perhitungan volume kontrak lump sum dimana seharusnya, volume pekerjaan tambah-kurang dihitung hanya perbedaan pada perubahannya saja dan tidak secara keseluruhan karena kesalahan perhitungan volume menjadi risiko sekaligus keuntungan kontraktor. Perhitungan ulang akan menghilangkan risiko dan keuntungan tersebut alias melanggar konsep lump sum.
3. Masalah Temuan Auditor
Ini adalah masalah klasik puluhan tahun sejak Indonesia merdeka. Pemeriksa/ Auditor seperti memiliki protap untuk memeriksa volume BQ terhadap volume terpasang yang dihitung dari Shop Drawing atau As Built Drawing. Dengan melihat proses di atas, sudah dipastikan akan ada temuan. Namun disayangkan bahwa temuan tersebut dinyatakan sebagai “temuan mark-up volume…” seolah-olah auditor tutup mata mengenai proses di atas dengan alasan terbanyak adalah melihat dari sudut pandang akuntansi atau keuangan dimana tiap item biaya harus ada dan sesuai wujud aktual terpasangnya.
Item pekerjaan C dan I akan rawan jadi temuan auditor. Tak hanya Auditor, jaksa juga menghitung dengan cara yang sama. Lantas menyebut ada penyimpangan tanpa pandang bulu jika pelaksana proyek telah berusaha bersih. Kondisi inilah mungkin yang menyebabkan banyak owner, pengawas, dan MK menghitung volume VO dengan cara volume total sama dengan terpasang. Bahkan tidak sedikit owner yang melakukan progress pekerjaan sesuai terpasang. Sehingga di akhir proyek selalu menyisakan dispute yang berkepanjangan.
Tindakan pemeriksa/ auditor ini seolah-olah dianggap sebagai suatu hal yang benar walaupun sebenarnya adalah menyalahi konsep kontrak lump sum. Jika pemeriksa/ auditor saja sudah menyalahi konsep lump sum, kemana lagi kontraktor yang berusaha bersih akan mencari kebenaran?
D. Usulan Solusi
Tentu kurang elok jika hanya menganalisa dan menemukan masalah tanpa memberikan solusi yang terbaik. Penulis mengusulkan beberapa solusi dalam rangka penerapan kontrak lump sum yang lebih baik sebagai berikut:
- BQ dibuat oleh kontraktor. Bisa juga BQ disiapkan oleh panitia lelang namun dengan catatan boleh direvisi oleh kontraktor.
- Setelah tender award, dilakukan pembahasan verifikasi dan kesepakatan item, volume dan harga satuan pekerjaan oleh semua pihak tanpa mengubah harga penawaran total.
- Panitia lelang menyepakati tata cara melakukan progress pekerjaan di awal dan dibahas dalam rapat aanwijzing lelang.
- Panitia harus menetapkan skema pembayaran saat lelang.
- Adanya tambah-kurang hanya dihitung perubahannya saja.
- Pemerintah membuat standart tata cara metode perhitungan volume pekerjaan.
- Pemerintah menyempurnakan standar kontrak lump sum dimana disebutkan lebih rinci mengenai aturan main yang sesuai dengan prinsip kontrak lump sum.
- Pemerintah menerbitkan buku yang membahas rinci mengenai kontrak lump sum termasuk kasus-kasus dan penyelesaiannya yang sesuai dengan kaidah kontrak lump sum.
- Sosialisasi dalam bentuk training dan lainnya ke seluruh pihak terkait.
Sumber: manajemenproyekindonesia.com
Sekian postingan kali ini, semoga dapat berguna bagi kemajuan dunia konstruksi kita. Jangan lupa share artikel ini ke sosial media jika dirasa bermanfaat untuk orang lain. Untuk mengikuti perbaruan konten situs ini, silahkan berlangganan melalui notifikasi yang muncul saat mengakses situs ini. Sekian dan terimakasih!