Problematika kontrak lump sum bisa jadi masalah yang tiada berujung dalam pelaksanaan kontrak konstruksi. Tulisan ini terpicu oleh beberapa tulisan yang menyoal masalah kontrak lump sum yang belum kunjung usai dan justru semakin melebar.
Tulisan menarik walaupun singkat mengenai kontrak lump sum seperti yang dikutip sebagai gambar di bawah ini (lihat detail):
Mirip dengan iklan minuman teh, judul tersebut cukup menarik dan merupakan kisah klasik dalam konstruksi proyek di Indonesia. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? menurut analisis saya adalah perbedaan sudut pandang dan persepsi. Pemeriksa sering menggunakan sudut pandang keuangan “yang terpasang yang dibayar”. Sedangkan pelaku konstruksi mengacu pada knowledge kontrak lump sum dan peraturan yang berlaku yang ada seperti Keppres No.80 Tahun 2003, PP No. 29 Tahun 2000, Permen PU No 43/PRT/M/2007, dan lain-lain.
Sesungguhnya sangat banyak pembahasan mengenai masalah tersebut. Mengapa demikian? Ada beberapa sebab, yaitu:
- Perbedaan persepsi mengenai kontrak lump sum oleh semua pelaku proyek.
- Pemahaman yang lemah mengenai kontrak oleh Pemberi tugas dan konsultan.
- Kurang jelasnya definisi dan tata cara aplikasi jenis kontrak lump sum.
- Perbedaan pendapat di kalangan institusi pemerintah yang terkait, seperti BPKP, LKPP, BPK, BK-Konstruksi (dulunya BPK-SDM PU).
- Pandangan negatif yang berlebihan terhadap proyek dimana proyek dianggap sebagai media korupsi.
Berikut saya petik lagi dalam bentuk gambar mengenai berita dan analisis mengenai konflik mengenai kontrak.
Selengkapnya lihat detail penjelasannya disini.
Selengkapnya lihat detail penjelasannya disini.
Selengkapnya lihat detail penjelasannya disini.
Cukup mengejutkan bahwa mulai banyak pelaku kontruksi berani mengkritisi masalah ini kepada lembaga/institusi pemerintah. Ini indikasi perlunya pembaharuan mengenai aturan yang mengatur mengenai aplikasi jenis kontrak ini. Namun amatlah disayangkan bahwa aturan terbaru mengenai Perpres No.54 Thn 2010 justru membuat deviasi pemahaman semakin lebar dan cenderung konflik dengan peraturan lain yang lebih tinggi kedudukannya secara hukum.
Perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah yang berfungsi sebagai regulator untuk mereview seluruh aturan yang terkait mengenai masalah ini. UUJK No. 18 Tahun 1999 yang dianggap sebagai aturan tertinggi mengenai tata laksana konstruksi sudah saatnya diperbaharui atau direvisi atau dilengkapi yang diikuti oleh peraturan-peraturan penjelas dan bukan bertentangan.
Masukan penting bagi pemerintah sebagai regulator untuk memasukkan peran lembaga pemeriksa serta aturannya dalam revisi undang-undang atau peraturan tersebut serta mensosialisasikannya sedemikian agar deviasi perbedaan persepsi menjadi tidak ada lagi.
Sumber referensi: manajemenproyekindonesia.com
Sekian postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat untuk kita semua. Jangan lupa share artikel ini ke sosial media agar yang lain bisa mendapatkan manfaatnya. Untuk mengikuti perbaruan konten situs ini, silahkan berlangganan melalui notifikasi yang muncul saat mengakses situs ini. Sekian dan terima kasih telah berkunjung.