Postingan ini akan menjelaskan secara detil mengenai permasalahan terkait aspek teknis yang terjadi selama pengiriman gas engine. Permasalahan teknis tersebut dibagi beberapa bagian yaitu: profil gas engine dan konsekuensinya, Kondisi teknis akses sungai, kondisi teknis existing sepanjang rute lainnya, keterbatasan resources dan keterbatasan Data.
A. Profil Gas Engine dan Konsekuensinya
A.1. Profil Gas Engine
Gas engine yang digunakan adalah bertipe dual fuel dimana pada dasarnya bahan bakar utama mesin adalah gas. Namun dapat pula menggunakan HSD (High Speed Diesel) atau solar. Dalam mode operasi bbm gas, fungsi solar adalah sebagai pilot fuel. Mesin yang dipesan sebanyak tujuh unit dari pabrikan Wartsila ini, memiliki kode 18V50DF.
Dengan fungsinya yang lebih dari gas engine biasanya (dual fuel), mesin ini berdimensi cukup raksasa yaitu panjang x lebar x tinggi = 14,53 x 4,10 x 6,05 m, dimana bobot mesin juga sangat berat yaitu +/- 300 Ton. Jika ditambah peralatan bantu termasuk multiaxle, sling untuk lashing, beam, dan lainnya, maka bobot total adalah hampir 400 Ton.
A.2. Konsekuensi Profil Gas engine
Bentuk yang cukup panjang dari gas engine, membuat alat pengangkut multiaxle juga harus cukup panjang. Hal ini memberi konsekuensi atas kebutuhan area saat proses manuver ketika melewati belokan/ tikungan jalan darat (Land Transport). Jalan yang dilewati praktis harus cukup lebar untuk bisa dilewati dan manuver serta juga harus cukup kuat menahan tekanan ban yang cukup besar.
Dalam proses pengangkutannya, dilakukan dengan menggunakan multiaxle khusus bertipe Self Propelled Trailer (SPT) dengan lebar tapak ban adalah 4,79 m. Lalu diperlukan pula beam penyangga beban engine yang dipasang secara melintang dengan panjang beam 6,0 m. Akibatnya diperlukan lebar jalan ideal selebar 7,0 m (clearance 0,50 m kanan-kiri). Jalan selebar ini tentu sulit ditemui di propinsi Riau. Kalaupun ada hanya pada ruas tertentu saja atau pada jalan utama kota Pekanbaru.
Di samping itu, panjang engine ini juga menentukan dalam memilih dimensi tongkang. Tentu saja semakin panjang engine, maka semakin panjang tongkang yang diperlukan. Di sisi lain dengan banyaknya tikungan tajam pada sungai Mandau, maka semakin panjang tongkang berimplikasi pada tingginya kesulitan menuver saat melewati tikungan tajam tersebut.
Kemudian akibat bentuknya yang tinggi, maka stabilitas engine menjadi perlu dijaga. Kombinasi bentuk yang cenderung tinggi dan bobot yang sangat besar, membuat pengiriman cargo ini sangat riskan terhadap risiko guling. Sekali terguling, maka engine ini akan menjadi musium karena tidak akan bisa diangkat lagi mengingat dibutuhkan crane > 1000 Ton untuk mengangkatnya kembali dimana infrastruktur untuk mendatangkan crane sebesar itu tidaklah memungkinkan di jalur delivery engine sepanjang alur sungai ini. Jika sudah seperti itu, maka rute juga akan terblock secara permanen.
Profil engine yang tinggi dan berat menuntut tongkang harus memiliki lebar yang memadai untuk mengimbangi gaya guling. Namun dilematisnya, lebar sungai sangat terbatas. Bentuk tampang sungai yang bersudut > 30º membuat tepi lebar tongkang rawan kandas. Sehingga tongkang harus berjalan hati-hati saat melintasi sungai. Potensi kandas ini membuat diperlukannya tongkang kecil dengan alat excavator long-armed sebagai alat bantu untuk melepaskan tongkang utama dari kondisi kandas.
A.3. Tuntutan Konsistensi dan Fokus
Dengan jumlah engine yang harus dikirim adalah tujuh unit, maka tidak diperkenankan adanya unsur kelalaian akibat kelelahan dalam melakukan pekerjaan ini. Dituntut konsistensi fokus dan konsentrasi tinggi dalam tiap prosesnya dari engine pertama hingga engine ke tujuh. Aspek safety menjadi prioritas tidak hanya bagi kestabilan engine, tapi juga segala kondisi yang mungkin terjadi terhadap engine tersebut seperti ambles, miring, guling, dan kondisi berbahaya lainnya.
Kondisi ini menuntut pula kondisi alat terutama multi axle dan tongkang beserta tagboat harus selalu dalam keadaan prima. Pengecekan berkala wajib dilakukan. Umur tongkang pun harus dibatasi mengingat kondisi perawatan tongkang di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Kesalahan atau kelalaian kecil saja, dipastikan akan berdampak besar, setidaknya di waktu. Hal ini disebabkan bahwamengganti suku cadangnya saja, diperlukan waktu yang tidak sebentar karena harus melewati mekanisme import.
B. Kondisi Teknis Alur Sungai
B.1. Feasibility Analysis Atas Dua Rute
Pada awalnya terdapat dua alternatif rute dari Dumai-Site dalam mengirim mesin yaitu via Darat melewati jalan raya Dumai-Duri dan via sungai Siak lalu masuk ke anak sungai Siak yang bernama sungai Mandau. Setelah melalui pertimbangan yang matang dan cukup lama, dipilihlah rute sungai dalam melakukan pengiriman mesin ini karena dianggap lebih feasible. Pengiriman via darat dianggap “tutup buku” mengingat perjalanan mesin ini membutuhkan lebar jalan setidaknya 7,0m dengan waktu 4-5 hari per engine. Sedangkan jalan yang ada 6-7 m dengan kondisi lalu lintas yang ramai karena merupakan lintas Sumatra. Tentu saja tidak mungkin menutup jalan lintas Sumatra dua arah selama 4×7=28 hari. Bisa-bisa dikomplain seluruh gubernur Sumatera bahkan oleh para Menteri.
Di samping padat lalu lintas, jalan Dumai-Duri juga memiliki beberapa daerah yang dengan geometri kombinasi tikungan dan tanjakan/ turunan tajam. Belum lagi beberapa obstacle lain seperti banyaknya jembatan baik bentang panjang maupun pendek sepanjang jalur darat ini. Hal ini menjadi hambatan tambahan dalam land transport Dumai-Job Site.
B.2. Profil dan Karakteristik Sungai
Walaupun dianggap lebih feasible, tapi tetap saja sangat sulit untuk menggunakan rute sungai. Ada dua sungai yang dilewati yaitu sungai Siak dan sungai Mandau yang merupakan anak sungai Siak. Untuk sungai Siak, tidak ada kesulitan yang berarti ketika dilewati. Tantangan yang berat ada pada alur sungai Mandau.
Sungai ini memiliki lebar berkisar 25-35 m dengan kedalaman bervariasi pada tiap lokasi yaitu 2,5-5,0m. Cukup mengejutkan bahwa sungai Mandau ini ternyata memiliki daerah aliran sungai yang cukup luas. Sehingga dengan tidak banyaknya anak sungai lain sekitar sungai Mandau dan luas tampang sungai yang relatif kecil, menjadikan sungai ini memiliki karakter gampang banjir ketika hujan intensitas cukup tinggi dan juga gampang surut jika tidak ada hujan selama lebih dari seminggu.
Ada karakteristik khusus tambahan sungai ini yang cukup mempengaruhi pola perjalanan tongkang yaitu pengaruhnya terhadap pasang surut air laut. Pada lokasi tertentu, pasang surut sangat tinggi hingga 1,50 m. Pada jarak 25 km upstream, pengaruh pasang surut berkurang sebagian dan pada jetty terakhir arah upstream sekitar 30 km berikutnya, pengaruh pasang surut cukup kecil. Kondisi ini membuat prediksi elevasi air sungai harian menjadi sulit untuk diprediksi. Apalagi waktu terjadinya pasang surut selalu bergeser secara harian.
Sungai ini merupakan sungai yang memiliki tingkat sedimentasi yang sangat tinggi. Sehingga seringkali membuat kedalaman alur jetty yang sudah dilakukan dredging untuk membuat tongkang dapat melakukan RORO menjadi dangkal sehingga tongkang kandas di depan alur jetty.
Bentuk sungai yang berkelok-kelok dimana beberapa diantaranya merupakan kelokan tajam juga menjadi perhatian dalam menentukan ukuran dimensi tongkang karena lebar sungai yang terbatas. Tongkang yang terlalu panjang atau terlalu lebar akan membuat ujung tongkang rawan tersangkut walaupun draf tongkang memadai. Sedangkan apabila dipilih tongkang lebih pendek dan lebar lebih kecil akan membuat draf lebih dalam sehingga rawan kandas. Cukup dilematis dalam menentukan dimensi tongkang.
Kondisi ini praktis membuat window atau kesempatan (opportunity) untuk bisa digunakan dalam mengirim mesin menjadi terbatas. Kondisi kering membuat draft tongkang pengangkut mesin tidak cukup dan rawan kandas. Sedangkan kondisi banjir membuat jetty menjadi tenggelam dan tidak dapat dilakukan proses RORO (Rolling-On dan Rolling-Off).
B.3. Obstacles Sungai Mandau
Dalam perjalanan sepanjang alur sungai Mandau, terdapat beberapa obstacle penting. Terdapat dua jembatan bentang 40-60 m dengan clearance 4,0-6,5 m (tergantung elevasi air sungai). Padahal untuk bisa melewati jembatan tersebut, diperlukan clearance setidaknya 7,50 m.
Dengan adanya dua obtacle jembatan dengan clearance yang tidak mencukupi tersebut, maka satu-satunya solusi adalah dengan metode beaching point. Engine dan multiaxle naik ke darat dan kemudian turun lagi ke sungai. Proses ini disebut dengan rolling-on dan rolling off atau disingkat dengan RORO. Sebelumnya pernah tercetus ide untuk mengangkat jembatan dengan cara hidraulic jacking. Namun metode ini tidak memungkinkan karena tingginya arus lalu lintas di salah satu jembatan, kestabilan jembatan yang membahayakan karena harus diangkat sangat tinggi (2,0-3,5 m), dan perijinan yang sulit.
Dikarenakan ada dua jembatan dengan clearance rendah dan adanya proses rolling-on dari laydown Kelantan serta diperlukannya proses rolling-off di jetty terakhir dekat lokasi proyek, maka tiap siklus pengiriman engine akan terjadi enam kali proses rolling (baik rolling-on maupun rolling off).
Dikarenakan ada dua jembatan dengan clearance rendah dan adanya proses rolling-on dari laydown Kelantan serta diperlukannya proses rolling-off di jetty terakhir dekat lokasi proyek, maka tiap siklus pengiriman engine akan terjadi enam kali proses rolling (baik rolling-on maupun rolling off).
Dapat dibayangkan bahwa jumlah engine yang berjumlah tujuh unit, berarti proses RORO dilakukan selama 42 kali. Padahal proses ini adalah proses yang paling berisiko tinggi. Hal ini karena tiap perubahan posisi engine dan multiaxle akan mempengaruhi keseimbangan tongkang karena beratnya yang signifikan. Tiap pergerakan tongkang harus diimbangi dengan proses ballasting dengan mengisi ataupun membuang air dalam kompartemen tongkang. Sungguh menyita perhatian yang tinggi.
Di samping itu terdapat beberapa obstacle lain sepanjang alur sungai ini, yaitu adanya tongkang yang melintang sungai yang dijadikan jembatan darurat oleh penduduk sekitar dan juga terdapat rumah apung di lokasi tertentu yang membuat clearance lebar sungai menyempit.
Tidak selesai disitu, pada sepanjang alur sungai ditemukan banyak sekali potongan dan sampah kayu yang hanyut akibat sisa illegal logging dan pohon kayu yang tumbang saat terjadi kondisi cuaca ekstrim. Potongan dan sampah kayu sangat menghambat perjalanan tongkang di sungai. Sehingga diperlukan proses cleaning alur sungai sebelum digunakan/ dilewati.
Problem lain yang juga penting pada kondisi sungai ini adalah adanya isu kerusakan lingkungan sungai yaitu pencemaran air sungai. Sehingga proses pengiriman menggunakan tongkang menjadi ekstra hati-hati. Jangan sampai membuang sesuatu ke sungai.
C. Kondisi Teknis Eksisting Sepanjang Rute Lainnya.
C.1. Tanah Sangat Lunak yang Unpredictable
Perhatian utama tertuju pada kondisi tanah, dimana pada daerah tertentu berupa tanah yang sangat lunak (very soft soil). Hal ini mengingat beban engine dan alat pengangkutnya sangat berat (400 Ton). Kesalahan kecil dalam perencanaan akan sangat fatal. Risiko tidak hanya ban multiaxle yang terpelosok, tapi juga merusak axle pada alat multiaxle di samping bahaya stabilitas engine. Pada daerah yang diketahui sangat lunak, terdapat petunjuk dimana terdapat struktur abutment jembatan yang miring sebelum digunakan yang berada di dekat area jetty. Hal ini diperkirakan karena kondisi tanah lunak yang unpredictable sehingga harus diwaspadai. Alam seharusnya telah memberikan tanda khusus bagi yang kritis.
Berdasarkan hasil test sondir di atas dimana ternyata tanah adalah sangat lunak, maka perlu sangat hati-hati dalam melakukan design jetty. Tingkat kesulitan design bertambah karena banyaknya keterbatasan larangan pemilik jembatan untuk melakukan pemancangan tiang dengan hammer dan berada di area konservasi. Di samping itu juga, terdapat kesulitan lain dalam pekerjaan konstruksi jetty dimana karena letaknya di tengah hutan, sehingga cukup sulit untuk mendapatkan material. Monitoring dan komunikasi jarak jauh juga sangat sulit mengingat infrastruktur komunikasi yang sangat tidak memadai.
C.2. Kondisi Di Jalan Darat
Lebar jalan di kampung dan Chevron yang akan dilewati engine menuju project site sangat sempit yaitu 5,0m dimana jarak terluar ban multiaxle adalah 4,8m. Sehingga diperlukan beberapa pelebaran jalan untuk ruang manuver dan akses operator alat.Sempitnya jalan juga rawan lantaran batas aspal dan tanah menjadi samar. Sehingga diperlukan tanda batas khusus untuk membantu operator dalam mengarahkan alat multiaxle berupa garis putih di tepi jalan aspal.
Geometri jalan darat dari jetty terakhir hingga job-site berupa jalan lurus sempit dengan lima tikungan 90º dan beberapa tanjakan-turunan dengan sudut cukup besar. Pada tikungan, proses harus dilakukan hati-hati dengan memperhatikan radius putaran yang tepat. Pada tanjakan, multiaxle harus meyakinkan untuk mampu mendaki karena jika power bermasalah, maka akan ada bahaya multiaxle + engine akan meluncur ke bawah. Lalu pada seksi turunan tajam, multiaxle bahkan harus berhenti dulu untuk mendinginkan rem agar berfungsi maksimal saat mulai menuruni jalan.
Di samping itu juga pada beberapa tempat yang dilintasi, terdapat kabel listrik tegangan tinggi dengan tinggi yang kurang memadai. Sehingga saat pengiriman, listrik di daerah ini terpaksa dimatikan sementara dan kabel listrik terpaksa diangkat.
Di samping itu kondisi lereng jalan akses dekat masuk lokasi proyek berpotensi terjadi bahaya risiko sliding / longsor. Hal ini karena jalan tersebut dibangun di atas tanah urugan yang cukup tinggi (>4,0m) dengan sudut yang cukup curam yaitu 50-60°. Analisis stabilitas lereng diperlukan mengingat telah ada keretakan di permukaan aspal sebagai tanda keruntuhan awal atas lereng. Hasilnya lereng tersebut memiliki Safety Factor yang kritis. Sehingga diperlukan tindakan pengamanan terhadap bahaya longsor.
Kondisi lain yang menjadi hambatan adalah adanya jalur pipa minyak dan gas PT. Chevron yang menjadi obstacle masuknya engine ke lokasi site. Diperlukan koordinasi dengan PT. Chevron untuk menjadikan pipa di atas permukaan tanah tersebut menjadi pipa bawah tanah agar tidak menjadi obstacle bagi pengiriman mesin.
C.3. Kondisi di Site
Lalu dengan telah selesai lebih dulunya engine hall berikut erection seluruh auxiliaries nya, maka ada tantangan lain yaitu bahwa saat engine tiba di depan engine hall, maka posisi engine haruslah presisi. Tidak presisinya posisi engine akan berdampak pada terhambatnya proses sliding engine menuju pondasinya akibat bertabrakan dengan alat-alat auxiliaries yang sudah terpasang.
Kondisi tanah di depan engine hall merupakan tanah yang cukup unik dimana terlihat memiliki elastisitas tinggi. Beban berat tumpuan engine saat ditaruh di sini membuat settlement cukup besar sekitar > 15 cm. Sehingga menyulitkan proses jack-up atau jack-down engine dengan alat hidraulic jack.
Di samping itu, dengan telah selesainya engine hall, maka proses sliding engine dari depan engine hall menuju pondasi dengan tumpuan rel berpotensi merusak struktur pelat beton yang sudah jadi dengan tebal 15,0 cm. Sehingga diperlukan teknik distribusi beban yang memadai untuk menghindari rusaknya pelat lantai akibat konsentrasi beban engine yang sangat besar pada batang rel slider.
D. Keterbatasan Resources.
Ada cukup banyak keterbatasan resources dalam pelaksanaan pekerjaan ini. Keterbatasan yang peling utama adalah keterbatasan vendor forwarder heavy cargo yang berpengalaman pada pekerjaan sejenis. Kebanyakan forwarder tidak memiliki pengalaman mengingat heavy cargo ini adalah yang pertama di Indonesia. Sehingga menentukan vendor forwarder membutuhkan kajian yang tidak mudah. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa menentukan vendor yang dianggap paling mampu diantara yang tidak berpengalaman serupa.
Tidak hanya itu, tingginya konten disiplin ilmu teknik Sipil tidak disadari oleh para forwarder. Para Forwarder juga umumnya meremehkan aspek teknik sipil. Sehingga aspek teknik sipil harus disupport penuh.
Tim proyek menjadi ekstra hati-hati dalam menentukan vendor forwarder, lantaran beberapa tahun sebelumnya telah terjadi kegagalan suatu forwarder dalam membawa engine serupa di Timor Leste dimana engine tersebut jatuh dalam perjalanan dan menjadi musium.
Lalu minimnya referensi mengenai pekerjaan sejenis telah membuat tim proyek harus banyak melakukan simulasi-simulasi perkiraan kejadian. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran mengenai risiko atas suatu proses pengiriman engine ini.
Dengan sangat besarnya dimensi dan bobot engine ini, membutuhkan ukuran kapal pengangkut yang besar pula. Sedangkan ukuran kapal / Vessel yang mampu mengangkut ke-tujuh engine dengan beberapa syarat lainnya terkait metode pengiriman seperti panjang dan kapasitas crane serta lainnya sangatlah terbatas.
Keterbatasan lainnya adalah sangat minimnya ketersediaan alat utama untuk mengirim mesin jumbo ini baik untuk di sungai dan di darat. Multiaxle khusus pengangkut heavy cargo ini haruslah tidak terlalu lebar dan tidak pula dengan lebar pas-pasan. Terlalu lebar maka akan sulit untuk lewat di jalan sempit dan ukuran pas-pasan akan berbahaya bagi stabilitas engine. Ukuran multiaxle yang umum tersedia adalah bertipe single axleline dan double axleline. Double axleline adalah dua single axleline yang disatukan dengan alat coupler khusus. Ukuran single axleline berkisar 3,0m-3,4m. Jika digunakan single axleline, maka akan membahayakan stabilitas karena lebar tapak engine adalah 4,10m. Lalu jika digunakan double axleline, maka lebar multiaxle menjadi 6,0m-6,80m yang terlalu lebar untuk perjalanan darat. Pilihan akhirnya pada tipe 1+1/2 line yang memilikii lebar 4,80m. Tipe ini adalah limited edition dari pabrikan yang lebih mahal dan sudah pasti sangat sulit untuk dicari.
Demikian pula dengan tongkang. Diperlukan deck strength minimal 7,5 T/m2 dengan kondisi bagus dimana dimensi yang disyaratkan tidak boleh lebih besar dari dimensi yang memungkinkan melewati sungai dan tidak boleh pula berdimensi kecil demi menjaga stabilitas engine terutama saat proses RORO.
E. Keterbatasan Data
Ketiadaan historical data hujan dari BMKG dan ketiadaan historical data elevasi air sungai selama 5 tahun membuat tidak dapat dilakukan forecasting terhadap kondisi cuaca dan elevasi air sungai. Perencanaan waktu pelaksanaan yang tepat sungguh tidak dapat dilakukan dengan baik. Perencanaan hanya mengandalkan informasi penduduk sekitar mengenai siklus cuaca dan elevasi air sungai. Dalam suatu waktu penulis malah mendapatkan bahwa ketika terjadi banjir, ada berita yang menyebutkan bahwa peta rawan banjir pun belum dibuat oleh Pemda setempat. Padahal banjir sering terjadi.
Begitu banyak tantangan teknis yang harus dipikirkan solusinya. Tidak satu-dua bahkan 10-20 tantangan. Dimana tidak ada ruang sedikitpun untuk melakukan kesalahan. Di sini sangatlah penting melakukan analisis yang detil dan simulasi untuk menghasilkan solusi yang paling tepat. (Bersambung)
Sumber referensi: manajemenproyekindonesia.com
Sekian postingan kali ini, semoga bisa menambah wawasan kita mengenai dunia proyek. Jangan lupa share artikel ini ke sosial media agar yang lain bisa mendapat manfaatnya. Untuk mengikuti perbaruan konten situs ini, silahkan berlangganan melalui notifikasi yang muncul saat mengakses situs ini. Sekian dan terima kasih atas kunjungannya.