Pada dasarnya komponen biaya upah di proyek hanya berkisar antara 5% – 10%. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya subkontraktor. Walaupun kecil, jika tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Over biayanya bisa mencapai 20% – 30% terhadap total biaya awal upah. Kelompok biaya ini tergolong agak sulit dikendalikan. Perlu diketahui penyebab kerugian pada kelompok biaya ini.
Kelompok biaya upah adalah salah satu kelompok biaya yang ada di proyek konstruksi. Komponen biaya ini termasuk kecil yaitu sekitar 5% – 10% secara rata-rata (tergantung kondisi lingkup proyeknya). Walaupun demikian, berdasarkan pengalaman (mungkin agak subyektif) komponen upah termasuk yang paling sulit untuk dikendalikan. Over biaya yang terjadi jika pengendalian kelompok biaya ini kurang baik bisa mencapai 20% – 30% dari asumsi biaya upah sebelumnya. Kenapa? Bisa jadi karena tiga hal utama yaitu:
- Melibatkan jumlah orang yang sangat banyak. Bisa mencapai lebih dari 500 orang pada proyek yang besar. Kita ketahui bahwa orang memiliki keinginan yang banyak dan kreatifitas yang tinggi sehingga bisa melakukan apa saja bahkan yang tidak terprediksi. Beda dengan material atau alat yang berupa benda mati. Semakin banyak orang yang terlibat maka akan semakin sulit untuk dikendalikan.
- Kontrak upah sifatnya masih abu-abu. Tertulis lump sum, tapi aplikasinya cost and fee. Dasar biaya upah malah sering kali bersifat upah harian (bukan borongan). Mandor cenderung menjadi makelar tenaga tukang. Walaupun kontrak lump sum, namun apabila mengalami kerugian, para mandor sering minta dispensasi berupa tambahan volume SPK. Jadi secara kontrak biaya ini cenderung tidak terkendali.
- Pengawasan yang lemah. Jumlah tenaga pengawas atau supervisi di suatu proyek tidaklah banyak dan tidak sebanding dengan jumlah pekerja. Belum ada penelitian yang menyatakan rasio yang baik antara jumlah supervisi dan jumlah pekerja. Namun kenyataannya supervisi seringkali tidak mampu untuk mengendalikan pekerja yang ada. Kondisi tersebut jelas membuat produktifitas, kualitas, dan yang lain menjadi sulit dikendalikan.
Komponen biaya yang lain seperti alat, subkontraktor, material, dan overhead melibatkan jumlah orang yang jauh lebih sedikit dari jumlah biaya upah. Dari aspek kontrak, subkontraktor dan material memiliki tingkat kepastian biaya yang tinggi. Alat dan overhead memiliki kontrak yang sifatnya harga dasar yang pasti namun besaran total tergantung volume dan waktu. Dari aspek pengawasan atau pengendalian, subkontraktor paling gampang yang diikuti oleh material. Alat dan overhead perlu usaha ekstra namun tidak setinggi biaya upah.
Agak dini untuk menyatakan bahwa biaya upah adalah biaya yang paling sulit dikendalikan. Perlu penelitian yang cermat untuk menentukan hal ini. Tapi setidaknya, berdasarkan argumentasi dan pengalaman, biaya upah memang paling sulit untuk dikendalikan.
Dengan menggunakan metode pohon logika yang disebutkan dalam buku Ken Watanabe, seperti yang disampaikan pada artikel yang terdahulu, dapat dikelompokkan akar penyebab kerugian pada biaya upah. Hasilnya disampaikan sebagai berikut:
A. Manajerial, Leadership, Teamwork, dan Attitude
- Kurangnya kerja sama yang baik pada pelaksanaan di proyek sebelumnya. Pengalaman kerja sama yang kurang baik akan membuat trauma yang berujung pada faktor mark up harga penawaran.
- Kemampuan negosiasi yang lemah. Hal ini akan membuat harga SPK masih tinggi.
- Attitude dan mental kerja pelaku procurement upah yang tidak baik. Adanya pola pikir untuk harus mendapatkan tambahan penghasilan dari fee dan sejenisnya dari mandor membuat adanya biaya tambahan untuk ini.
- Tenaga Engineering kurang memadai untuk melakukan proses pengukuran dan perhitungan volume yang baik, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Di samping itu juga dalam hal menyiapkan shop drawing yang detil sedemikian pekerjaan dapat diidentifikasi dengan jelas dan terukur dengan baik.
- Kompetensi supervisi yang kurang memadai. Hal ini menyebabkan perencanaan pekerjaan yang kurang baik, lemahnya koordinasi, komunikasi, kerja sama dan pengawasan pada saat pelaksanaan.
- Tidak tersedia SOP koordinasi dan komunikasi pekerjaan mandor mulai saat procurement hingga selesainya pekerjaan.
B. Proses Procurement, Kontrak, dan Risiko
- Sistem procurement mandor yang kurang memadai. Tidak tersedianya standar dokumen khusus yang diberikan ke mandor pada saat proses procurement.
- Tingkat kompetisi yang kurang. Kondisi ini membuat mandor enggan menurunkan tingkat keuntungan karena merasa pasti mendapatkan pekerjaan.
- Waktu proses procurement yang mendadak dan singkat sehingga mandor tidak dapat mempelajari pekerjaan dengan baik.
- Durasi pelaksanaan tidak optimal dan tidak matching dengan master schedule proyek. Semakin panjang durasi pelaksanaan yang disyaratkan akan membuat pos biaya overhead akan semakin besar. Namun, durasi pelaksanaan yang terlalu singkat juga meningkatkan biaya operasional seperti lembur.
- Kesalahan menentukan mandor yang tepat. Seperti mandor belum pernah bekerja sama, tidak berpengalaman pada pekerjaan yang diberikan, tidak fair atau curang dan tidak memiliki rasa tanggung jawab, kemampuan mandor lemah dalam hal mengendalikan pekerja dan pendanaan.
- Keahlian (workmanship) dan disiplin pekerja tidak memadai.
- Tidak tersedianya data base mengenai item pekerjaan dan harga upah serta daftar mandor dan pekerja yang memiliki kinerja yang baik.
- Sistem pengendalian opname tidak akurat atau bahkan kadang tidak ada.
- Kurang teliti dalam melakukan evaluasi.
- Belum adanya jenis kontrak yang memadai.
C. Lingkup dan metode pelaksanaan
- Tingkat kesulitan pekerjaan yang tinggi.
- Metode pelaksanaan salah, tidak efisien dan tidak efektif.
- Kurangnya kreatifitas dalam mendapatkan metode pelaksanaan yang paling efisien.
- Adanya ketidakpastian lingkup pekerjaan mandor. Ketidakpastian dalam hal apapun dalam konteks proyek sama dengan biaya. Semakin tinggi ketidakpastian maka semakin tinggi pula biayanya.
D. Pendanaan
- Cara pembayaran yang menimbulkan negatif cash flow.
- Ketidakpastian pembayaran dan tidak adanya jaminan atas pembayaran. Ketidakpastian pembayaran membuat asumsi terjelek atas cash flow yang berarti tingginya bunga bank yang harus dicadangkan.
- Reputasi yang kurang baik dalam hal pendanaan. Reputasi yang kurang baik berarti risiko pendanaan. Ada risk contigency yang dicadangkan yang menjadi tambahan biaya pada harga penawaran.
E. Faktor Eksternal
- Biaya persiapan mandor yang tinggi karena lokasi yang jauh, minimnya fasilitas dan lain-lain.
- Cuaca buruk dan tidak terprediksi. Cuaca yang tidak pasti atau buruk menyebabkan asumsi produktifitas yang rendah. Ini membuat asumsi jumlah resources yang lebih tinggi yang berarti tambahan biaya.
- Aturan atau kebiasaan lokal. Adanya aturan dan kebiasaan lokal seperti harus menggunakan sebagian pekerja lokal yang memiliki produktifitas rendah dengan biaya yang tinggi akan mempengaruhi biaya penawaran.
Sumber referensi: manajemenproyekindonesia.com
Demikian postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat untuk kita semua. Jangan lupa share artikel ini ke media sosial jika dirasa bermanfaat. Untuk mengikuti perbaruan situs ini, silahkan berlangganan melalui notifikasi yang muncul saat mengakses situs ini. Sekian dan terimakasih 🙂