Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan design. Tak ada design yang benar-benar sempurna. Ketidaksempurnaan produk manusia termasuk design adalah hal yang alamiah. Jika ketidaksempurnaan tersebut adalah hal yang tidak signifikan tentu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Namun bagaimana jika ketidaksempurnaan yang terjadi adalah hal yang fatal?
Hasil pengamatan selama mengerjakan proyek, rasanya tidak pernah ada design yang benar-benar sempurna. Selalu ada saja ketidaksempurnaan pada design. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa jadi karena waktu yang dibutuhkan untuk mendesign suatu proyek terlalu singkat yang disebabkan oleh terbatasnya waktu untuk penyelesaian proyek itu sendiri.
Sialnya, seringkali kesalahan-kesalahan tersebut apabila tidak diantisipasi dan terlanjur dilaksanakan, lalu terjadi masalah, maka yang menanggung risikonya adalah kontraktor. Hampir semua Owner baik pemerintah dan swasta, menganggap bahwa risiko tersebut ada di kontraktor. Hal ini karena rendahnya pemahaman Owner dari sisi perencanaan dan manajemen proyek. Padahal di luar negri tidaklah demikian. Suatu kesalahan akan benar-benar diinvestigasi. Jika kesalahan di pihak perencana, maka Perencanalah yang harus bertanggung jawab. Tidak heran di luar negeri, Architect (Perencana) memiliki risiko lebih besar ketimbang kontraktor. Di sana, risiko kesalahan design inipun diasuransikan dengan biaya yang tidak sedikit alias cukup mahal.
Pada dasarnya kontraktor harus melakukan review design berdasarkan undang-undang. Hal ini mungkin ditujukan agar design menjadi lebih sempurna terutama setelah dikaji dari sisi pelaksanaan dan pengalaman kontraktor dalam pengerjaan proyek sejenis.
Lalu apa manfaat dari review design oleh kontraktor? Walaupun bukan merupakan tugas pokok dari kontraktor, namun langkah ini memiliki manfaat yang cukup signifikan, yaitu:
1. Antisipasi risiko kontraktor karena kesalahan design yang umum terjadi. Perlu diketahui bahwa risiko akibat kesalahan design umumnya berdampak besar, apalagi jika bangunan tersebut telah dioperasikan. Sebagai contoh, pada suatu proyek pembangunan gedung bedah sentral terjadi kesalahan penentuan kapasitas unit AC karena dalam perhitungan cooling capacity nya tidak memperhitungkan adanya exhaust fan atau sistem fresh air atau adanya hepa filter atau adanya alat kesehatan dengan panas tinggi atau standar suhu kamar operasi yang berkisar 20 ± 2°C. Akibatnya ruang operasi menjadi tidak layak digunakan padahal antrian pasien yang harus dibedah cukup banyak. Dampaknya tidak saja materiil tapi juga immateriil.
2. Mengurangi risiko-risiko yang sering terjadi pada masing-masing pekerjaan yang mengalami redesign sebagai langkah lanjutan dari review design. Pada proyek konstruksi telah diketahui banyak risiko pada masing-masing item pekerjaannya. Melakukan redesign akan mampu mengurangi dampak risiko-risiko tersebut. Misalnya sistem pelat struktur beton yang semula dengan sistem konvensional diubah menjadi sistem span deck atau precast half slab yang akan mengurangi risiko kelangkaan material kayu yang saat ini semakin sulit untuk didapat.
3. Meningkatkan kepercayaan pihak-pihak terkait terhadap kemampuan kontraktor. Kemampuan kontraktor dalam melakukan review design dan redesign tentu akan memberikan dampak psikologis kepada pihak lain di proyek. Dimana kompentensi ini sebelumnya adalah domain konsultan perencana dan konsultan pengawas. Situasi komunikasi juga akan terpengaruh dengan adanya kemampuan kontraktor tersebut.
4. Menghindari kerugian dan bahkan menambah keuntungan atas terjadinya variation order karena redesign sebagai hasil proses review design yang perlu disempurnakan. Namun, harus tetap mengutamakan aspek teknis dalam melakukan redesign. Adanya redesign biasanya menghasilkan perubahan gambar, sistem, spesifikasi, dan atau metode pelaksanaan. Perubahan-perubahan tersebut akan membuat kontrak juga harus dirubah/ addendum. Kondisi tersebut sering berarti adanya harga satuan baru yang ditentukan dalam masa pelaksanaan yang berarti pula harga satuan yang sudah mempertimbangkan segala aspek termasuk risiko. Sehingga harga satuan baru tersebut berpeluang besar memberikan keuntungan tambahan bagi kontraktor. Bahkan apabila item yang dilakukan redesign adalah item pekerjaan yang berpeluang besar terjadi risiko yang menyebabkan kerugian, maka setidaknya potensi rugi tersebut telah dapat dinetralisir dengan adanya review design.
5. Kontraktor berhak atas fee 50%. Ini berdasarkan kontrak kontrak Internasional FIDIC, adanya VE (Value engineering) atau redesign sebagai hasil dari proses review design ini maka kontraktor berhak atas fee sebesar 50% atas penghematan biaya. Hal ini cukup berasalan karena ada nilai lebih berupa keuntungan Owner atas kontribusi kontraktor yang tentu secara profesional harus diberikan. Di Indonesia hal ini belum dipertimbangkan baik dalam Keppres, Perpres, Kepmen, maupun standart kontrak Bappenas.
6. Mempercepat pelaksanaan apabila hasil review design dilanjutkan ke tahap redesign dapat memberikan design yang mempercepat pelaksanaan. Sebagai contoh, suatu optimasi design struktur kolom dan shearwall pada gedung bertingkat tinggi. Semakin tinggi lantai, tentu saja dimensi struktur vertikal semakin kecil di lantai yang semakin tinggi karena beban yang didukungnya akan semakin kecil. Perencana sering mengambil sisi praktis untuk menyamakan dimensi struktur tersebut. Hasil optimasi adalah berupa pengecilan dimensi elemen struktur vertikal. Ini berarti lebih sedikit material yang dikerjakan yang akhirnya berarti pemangkasan waktu pelaksanaan proyek. Terlebih pada lokasi proyek yang sulit atau sering mengalami kelangkaan semen, maka optimasi struktur ini akan bermanfaat dalam mengatasi keterlambatan proyek.
7. Meningkatkan mutu pelaksanaan dan kehandalan bangunan apabila redesign menghasilkan design yang mampu meningkatkan mutu produk dan kehandalannya. Kadang ditemui design yang kurang sempurna dalam hal aspek mutu dan kehandalan. Misalnya adanya kolom bulat karena tuntutan arsitektur menghendaki kolom bulat. Namun, kolom tersebut dilapisi oleh bahan finishing tertentu seperti ACP (Alluminium composite Panel), GRC (Glass Rainforced Cement), atau Stainless stell. Mestinya kolom struktur tidak perlu dibuat bulat karena kapasitas kolom bulat lebih kecil dibanding kolom persegi dengan jumlah material/ biaya yang sama.
Sumber referensi: manajemenproyekindonesia.com
Sekian postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat untuk kita semua. Jangan lupa share artikel ini ke sosial media agar yang lain bisa mendapatkan ilmunya. Untuk mengikuti perbaruan konten situs ini, silahkan berlangganan melalui notifikasi yang muncul saat mengakses situs ini. Sekian dan terima kasih telah membaca.