Istilah panen pada umumnya digunakan dalam dunia pertanian, seperti memanen padi, memanen karet, memanen kelapa sawit, dan lain sebagainya. Namun Dosen Magister Sistem Teknik (MST) UGM, Dr. Ing. Ir. Agus Maryono mampu menciptakan teknologi untuk memanen air hujan menggunakan tangki penampungan. Dengan teknologi ini, air yang berlimpah di saat musim hujan ditampung dan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga seperti mencuci, mandi, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Namun tidak bisa digunakan untuk air minum. Jika dikembangkan secara massal, teknologi panen hujan bisa menjadi solusi untuk mengatasi banjir sekaligus menghemat pemakaian air tanah.
Jika dilihat, alat pemanen air hujan yang dipasang di kantor MST UGM terlihat sederhana. Tangki plastik berkapasitas 1050 liter dihubungkan ke talang menggunakan pipa PVC yang hampir sama dengan Penampungan Air Hujan (PAH) yang ada di Gunungkidul. Perbedaannya adalah penampungan air tidak menggunakan bak melainkan tangki tertutup dan dilengkapi dengan saringan. Saringan pertama berfungsi untuk menyaring daun-daun yang terbawa air dari talang. Saringan kedua menggunakan bola plastik yang berfungsi untuk menyaring debu dan lumpur yang terbawa oleh air.
Terbukti, air yang dihasilkan sangat jernih. Agar tidak mudah ditumbuhi oleh lumut, bagian luar tangki dicat dengan warna abu-abu. Hal ini bertujuan agar sinar matahari tidak mudah untuk menembus lapisan tangki yang terbuat dari plastik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan lumut di dalam tangki. Menurut Dr. Ing. Ir. Agus Maryono, air hasil tampungan ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun untuk keperluan air minum harus dibawa ke Dinas Kesehatan untuk dilakukan uji laboratorium.
Air hujan tidak mengandung bakteri E coli. Tapi dari sisi kandungan mineral, kualitas air sumur lebih baik karena air hujan tidak mengandung mineral. Oleh karena itu untuk daerah yang tidak banyak kandungan mineralnya tidak disarankan menggunakan air hujan untuk konsumsi sehari-hari. Untuk daerah kota Yogyakarta, kandungan mineral cukup banyak sehingga bisa digunakan untuk konsumsi.
Pemanen air hujan dapat digunakan untuk mengatasi kekeringan dan banjir. Jika air hujan dikumpulkan semua, banjir lokal bisa ditunda. Bayangkan kalau tiap rumah mempunyai penampungan air hujan, maka run off nya menjadi kecil sekali, “kata Pak Agus. Untuk setiap 100 meter persegi atap, bisa dibuat penampungan dengan kapasitas 2 hingga 10 meter kubik. Jika dalam 1 minggu terjadi 2 hingga 3 kali hujan dengan durasi hujan selama 1,5 jam, maka tangki bisa terisi penuh. Hanya saja pemanfaatan air hujan masih terkendala mind set yang berkembang di masyarakat bahwa penggunaan air hujan dianggap kuno.
Contoh perhitungan kebutuhan air:
1. Perhitungan debit air hujan yang bisa ditangkap
- Misal luas atap (A) = 100 m²
- Intensitas hujan rata-rata (I) = 25 mm/jam = 0,025 m/jam
- Run off (α) = 0,9
- Koefisien distribusi hujan (β) = 1
Maka didapatkan debit (Q) = α . β . I . A
- = 0,9 . 1 . 0,025 . 100
- = 2,25 m³
Jika diasumsikan dalam sehari terjadi hujan selama 1,5 jam dan 2 kali dalam seminggu, maka debit air hujan yang dapat ditampung adalah Q total = 2,25 . 1,5 . 2 = 6,75 m³.
2. Perhitungan kebutuhan air rumah tangga dalam 1 minggu
Asumsi kebutuhan sehari-hari:
- Mandi 15×2 = 30 liter
- Wudhu 5×5 = 25 liter
- Minum = 8 liter
- Cuci baju = 20 liter
- Cuci piring = 5 liter
- Dan lain-lain = 37 liter
- Sehingga total = 125 liter/hari
Jika diasumsikan jumlah anggota keluarga 5 orang, maka kebutuhan air dalam 1 minggu adalah 125 . 5 . 7 = 4375 liter = 4,375 m³.
Sehingga air hujan yang bisa ditangkap oleh teknologi ini bisa memenuhi kebutuhan air dalam 1 rumah dengan 5 anggota keluarga untuk 1 minggu.
Sumber referensi: ilmutekniksipil.com
Sekian postingan kali ini mengenai teknologi memanen air hujan, semoga bisa bermanfaat untuk kebutuhan rumah tangga anda semua. Jangan lupa share artikel ini ke sosial media agar yang lain bisa mendapat manfaatnya.